POLITICAL EFFICACY, POLITICAL TRUST DAN
COLLECTIVE SELF ESTEEM DENGAN PARTISIPASI
DALAM GERAKAN MAHASISWA
Andik Matulessy, Samsul
Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag Surabaya Pro Rakyat (KAMUS PR)
Abstract: The student movement is growing rapidly with the support of the mass media as a source of inspiration for the community in addressing the political issues. In the late of 2009 and the beginning of 2010, student’s participation in demonstration increased dramatically. One of them was demonstration held by the celebration of anticorruption day. It happened in almost 33 provinces in Indonesia. Subject of this research is 40 activists of the movement of college students in Surabaya. The result of the regression analysis between political trust variable (X1), Political Efficacy (X2) and Collective Self Esteem (X3) collectively together against participation in student movement (Y) is obtained F= 930,399 in the significance (p)= 0,000. This shows that Political Trust, Political Efficacy and Collective Self Esteem collectively together has significance influence toward participation in the student’s movement.
Keywords: student’s movement, participation, political trust, political efficacy, collective
self esteem
Abstrak: Gerakan mahasiswa semakin berkembang pesat dengan dukungan media massa sebagai sumber inspirasi bagi masyarakat dalam menyikapi masalah politik. Pada akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010, partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi meningkat dengan drastis. Salah satunya adalah demonstrasi yang digelar bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi yang terjadi hampir di 33 propinsi di seluruh Indonesia. Subjek penelitian ini adalah 40 aktivis organisasi gerakan mahasiswa Perguruan Tinggi di Surabaya. Hasil Analisis Regresi antara variabel Political Trust (X1), Political Efficacy (X2) dan Collective Self Esteem (X3) secara bersama-sama terhadap Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa (Y) diperoleh hasil F = 930,399 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa Political Trust, Political Efficacy dan Collective Self Esteem secara bersama-sama mempunyai pengaruh sangat signifikan terhadap Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
Kata Kunci: Gerakan Mahasiswa, Partisipasi, Political Trust, Political Efficacy,
Collective Self Esteem
Pendahuluan
Mahasiswa sekali lagi mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena meningkatnya eskalasi demonstrasi elemen mahasiswa menuntut berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Peneliti mencatat setidaknya terdapat gelombang gerakan mahasiswa yang cukup besar di penghujung tahun 2009 dan di awal tahun 2010.
Di Jakarta, sejumlah elemen di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak) dan Gerakan Indonesia Bersih (GIB) menggelar unjuk rasa di Bundaran HI dan kantor KPK (www.detiknews.com, 09 Desember 2009). Di Surabaya aksi hari Antikorupsi sedunia dirayakan berbagai elemen mahasiswa di antaranya BEM Unair, dan aliansi mahasiswa anti korupsi Surabaya yang terdiri elemen gabungan mahasiswa dari BEM ITS, BEM UNAIR, BEM UMS, HMI, KAMMI Surabaya dan GMNI Surabaya yang menyoroti lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia, semuanya berkumpul menggelar aksinya di depan Gedung Grahadi Surabaya (www.suarasurabaya.net, 09 Desember 2009). Hampir setiap kampus di Surabaya turun aksi memperingati Hari Antikorupsi di antaranya Kamus PR UNTAG, KAMI ITS, Fam Unitomo, BEM Universitas Kartini, BEM Unmer, dan kampus yang lainnya, mereka bergabung bersama elemen masyarakat yang lain seperti buruh dan LSM (dalam www.tempointeraktif.com, 09 Desember 2009). Demonstrasi mahasiswa memperingati Hari Anti Korupsi bahkan berakhir ricuh setelah ribuan demonstran yang mengepung kantor DPRD dan Kantor Gubernur Sulsel di Kota Makassar sempat bentrok dengan polisi (www.bataviase.co.id, 09 Desember 2009).
Eskalasi partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi kembali meningkat pada saat 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Aksi memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono jilid kedua digelar hampir di seluruh kota di Indonesia. Di Jakarta, sebanyak 27 aksi demonstrasi dari berbagai elemen yang sebagian besar berkaitan dengan tuntutan pertanggungjawaban atas 100 hari pertama masa pemerintahan SBY-Boediono. Sasaran aksi di depan Istana diikuti antara lain Front Oposisi Rakyat Indonesia, Front Perjuangan Rakyat, dan Mahasiswa Bersatu (dalam www.antarajatim.com, 28 Januari 2010). Di Surabaya, elemen mahasiswa juga bersatu bersama elemen masyarakat lainnya berhasil menemui Geburnur Jatim, Soekarwo, dengan tuntutan sikap Pemprov Jatim terhadap penolakan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), penuntasan kasus Bank Century, pemberantasan korupsi di Jatim, dan SKTM (surat keterangan tidak mampu) yang diskriminatif. Peserta aksi bahkan lebih lugas menyuarakan penonaktifan pejabat yang terlibat dalam kasus Bank Century, antara lain Wakil Presiden Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, supaya tidak mengganggu kinerja pemerintah dan Pansus DPR RI. Organisasi gerakan mahasiswa yang ikut berpartisipasi antara lain GMKI, GMNI, BEM ITS, BEM Unair, BEM Unesa, BEM UWK, LMND, Kamus PR, dan elemen masyarakat lainnya, seperti Front Suara Rakyat, PRD, Kasbi. Mahasiswa menganggap terdapat krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan SBY-Boediono akibat kasus-kasus KKN seperti dana talangan Bank Century, kriminalisasi KPK hingga kasus ketidakadilan hukum yang menimpa rakyat kecil (dalam www.antarajatim.com, 28 Januari 2010). Untuk kesekian kalinya, kericuhan mewarnai partisipasi mahasiswa dalam memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono di Makassar. Para mahasiswa mencorat-coret kendaraan warga dan menghentikan kendaraan dinas yang melintas di sekitar lokasi demonstrasi. Aksi tersebut dilakukan mahasiswa dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar saat berunjuk rasa di depan kampus mereka (dalam www.detiknews.com, 28 Januari 2010). Selanjutnya kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Cirebon diwarnai demonstrasi yang menolak kedatangan presiden saat hendak meresmikan jalan tol Kanci-Pejagan. Aksi protes tersebut dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Cirebon. Mahasiswa juga menilai, program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono tak lebih hanya sekedar alat propaganda belaka, karena tidak ada program kongkrit, dan menganggap sama saja dengan membohongi rakyat (www.poskota.co.id, 26 Januari 2010).
Partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa yang terakhir bisa diamati oleh penulis adalah aksi dengan isu mengawal Sidang Paripurna Kasus Bank Century. Di jakarta, sekitar 50 ribu demonstran memadati Gedung Dewan di Senayan Jakarta. Elemen mahasiswa bahkan menduduki senayan selama 3 hari. Elemen mahasiswa ini yang menamakan diri kelompok Cipayung Plus yaitu, KAMMI, GMNI, PMKRI, HikmaBudhi, IMM, KMHDI, GMKI dan HMI (dalam http://bataviase.co.id/, 3 Maret 2010). Issue yang diusung masih tetap berkaitan dengan penuntasan Kasus Bank Century. Aksi mahasiswa selama dua hari tersebut diwarnai oleh bentrok dengan aparat. Aksi mengawal Sidang Paripurna kasus Bank Century di Makassar juga berakhir bentrok. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terlibat bentrok dengan polisi. Bentrok tersebut dipicu oleh penyerangan dan perusakan Sekretariat HMI oleh oknum polisi. Aksi balasan dilakukan mahasiswa dengan merusak pos polisi di dekat sekretariat mereka (dalam www.metrotvnews.com, 4 Maret 2010). Akibat aksi bentrok tersebut, suasana Kota Makasar cukup menegangkan. Bentrok akhirnya meluas di beberapa titik kampus di Makassar, seperti UMI, UMM. Aksi bentrok yang meluas bahkan melibatkan sekelompok orang; yang diklaim media sebagai warga setempat; terlibat bentrok dengan mahasiswa (dalam www.liputan6.com, 7 Maret 2010).
Munculnya partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru di panggung sejarah Indonesia. Sejarah mencatat bahwa dalam setiap perubahan sosial (social change) yang terjadi di Indonesia, hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa. Gerakan mahasiswa menjadi pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari tirani dan segala bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya senantiasa konsisten mengusung panji- panji keadilan, kejujuran, serta hadir dengan ketegasan dan keberanian. Peneliti mencatat setidaknya terdapat beberapa fase angkatan gerakan mahasiswa di Indonesia mencatatkan sejarah dalam perubahan.
Fase tersebut berturut-turut antara lain; gerakan mahasiswa angkatan 1908; yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo sebagai wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern (dalam Onghokham, 1977); gerakan mahasiswa 1928 yang ditandai dengan kerja kolektif pemuda dalam sebuah format keindonesiaan dan puncaknya adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (dalam Van Miert, 1995); kemudian gerakan mahasiswa angkatan 1945 yang ditandai dengan lahirnya kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia 1945, partisipasi mahasiswa dalam pentas politik semakin menunjukkan eksistensi dirinya yang ditandai dengan mulai aktifnya organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi partai politik (dalam Raillon, 1989). Rocamora (dalam Magenda, 1977) mencatat bahwa masa demokrasi terpimpin terdapat jumlah anggota gerakan mahasiswa yang cukup besar.
Partisipasi mahasiswa dalam pentas politik pada tahun 1945-1966 ditandai dengan lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menolak rezim orde lama dan menuntut Presiden Soekarno turun dari jabatannya, mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan yang dirumuskan dalam sebuah konsep yaitu Tritura, yang isinya menuntut pembubaran PKI, Retool kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang (dalam Seminar KAMI, 1984). Selanjutnya partisipasi mahasiswa berturut-turut adalah angkatan 1974 yang ditandai dengan aksi golput massal dan meletusnya peristiwa Malari tahun 1974; gerakan mahasiswa angkatan 1978 yang ditandai dengan pergolakan mahasiswa yang berskala masif ketika Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dimana mahasiswa menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional; gerakan mahasiswa era NKK/BKK dan yang terakhir adalah gerakan mahasiswa angkatan 1990an dan 1998.
Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru, bagaimanapun merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun. Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai partisipan dalam perubahan. Reformasi 1998 yang ditandai dengan jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, merupakan babak terbaru kiprah mahasiswa di dalam pentas sosial politik di Indonesia. Pasca 1998, beberapa organisasi gerakan mahasiswa masih tetap melakukan berbagai protes pada era kepemimpinan Habibie, Abdurrachman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, maupun saat pemerintahan Presiden Pertama Republik Indonesia hasil pilihan rakyat, Soesilo Bambang Yudhoyono. Namun demikian secara umum gerakan mahasiswa setelah tahun 1998 seakan terlupakan dan hanya dianggap riak kecil yang tidak terlalu diperhitungkan dalam kancah perpolitikan nasional. Hal ini dapat terlihat dari minimnya partisipan atau peserta aksi protes, dan terbelahnya isu gerakan pada berbagai poros politik (dalam Matulessy, 2008).
Melihat fakta sejarah gerakan mahasiswa diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa selalu berpartisipasi aktif dalam menyikapi problem sosial dan kebijakan politik pemerintah yang tidak memihak pada rakyat kecil. Partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial mengungkapkan new political issues and ideas, utamanya sebagai respon untuk memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial yang diakibatkan dari kekuasaan politik yang dianggap menindas rakyat (dalam Matulessy, 2008). Berdasarkan data dan fakta, juga disimpulkan bahwa partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi disebabkan karena krisis kepercayaan (distrust) kepada pemerintah, dimana mahasiswa menganggap belum ada perubahan yang mendasar bagi rakyat, ditambah lagi dengan semakin melemahnya penegakan hukum di Indonesia. Catatan penting lainnya adalah semakin maraknya aksi yang cenderung memantik bentrok dengan aparat dan warga setempat, seperti aksi bakar ban, blokir jalan, merusak mobil dinas aparat, hingga membawa replika buatan yang cenderung memojokkan pemerintah maupun pihak-pihak terkait yang dituding mahasiswa untuk bertanggung jawab, seperti misalnya membuat poster bergambarkan berisi celaan terhadap SBY, Boediono, Sri Mulyani dalam demonstrasi penuntasan kasus Bank Century (dalam www.antarajatim.com, 28 Januari 2010).
Partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi yang cenderung anarkis memang tidak bisa dibenarkan, dengan alasan apapun. Secara psikologis, tindakan yang mereka lakukan itu merupakan ekspresi berlebihan akibat akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat (dalam Badri, 2008). Terdapat pula analisis mengapa demonstrasi mahasiswa seringkali berakhir dengan bentrok, misalnya analisis psiko-lapangan, yakni kekerasan terjadi karena semata-mata konsekuensi dari ‘kondisi lapangan yang tidak terduga’. Demonstrasi yang berujung bentrok masih diyakini sebagai taktik-penekan yang efektif terutama bila dilakukan secara masif dan dengan massa aksi yang besar. Tersebut tentu belum cukup menjelaskan penyebab gerakan mahasiswa mengambil sikap bentrok dengan aparat (dalam Hastiyanto, 2010). Pada kenyataannya, demonstrasi yang berujung bentrok pada kenyataannya menuai kritik dan cibiran dari masyarakat. Kekerasan secara otomatis akan menurunkan wibawa mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang seharusnya menggunakan cara-cara yang arif dalam menyelesaikan suatu permasalahan (dalam Badri 2008).
Berdasarkan kajian teoritis, gerakan mahasiswa (student movement) merupakan salah satu bentuk dari gerakan sosial (social movement) (Locher, 2002). Gerakan sosial, menurut Tarrow dalam bukunya Social Movements and Contentious Politics (1998), adalah ‚tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang serupa, dalam konteks interaksi konfrontatif melawan kelompok elite, lawan, dan penguasa‛. Pada hakikatnya, gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara. Partisipan dalam gerakan sosial tampil merespon dan memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial yang diakibatkan dari kekuasaan politik yang dianggap merugikan.
Unjuk rasa dikenal sebagai salah satu bentuk partisipasi dan salah satu wujud dari bentuk aktualisasi perilaku politik dalam gerakan sosial. Almond (1990), salah seorang penggagas pendekatan perilaku mengkategorikan unjuk rasa sebagai bentuk partisipasi dalam gerakan sosial. Gerakan sosial sama halnya dengan perilaku kolektif (collective behavior) seperti mass behaviour/perilaku massa (public opinion, fads, fashions,crazes, panics), crowds (street crowds, riots, mobs). Namun Locher (2002) menilai bahwa gerakan sosial berbeda dengan perilaku kolektif lainnya, karena mempunyai karakteristik yang khusus yakni relatif memiliki struktur yang terorganisasi (organized), dilakukan oleh beberapa individu yang memiliki kesadaran dan kesengajaan (deliberate) dan terbentuk serta beraktivitas dalam jangka waktu yang lama (enduring). Organisasi gerakan sosial juga memiliki tujuan dan struktur organisasi yang jelas, serta mempunyai suatu ideologi yang secara yang secara jelas berorientasi pada perubahan.
Jadi gerakan mahasiswa pada hakekatnya dipandang sebagai suatu bentuk perilaku (aksi) kolektif yang memiliki soliditas sosial, politik dan ideologi yang tinggi. Sebuah unjuk rasa dikatakan sebagai gerakan sosial manakala setiap anggotanya digerakkan oleh kesamaan keyakinan, doktrin, fanatisme dan kepemimpinan, serta melibatkan diri secara sadar untuk berkorban atas nama perubahan. Hal ini berbeda dengan kegiatan pengumpulan massa atau bentuk kerumunan yang lain, yang relatif tidak terorganisir, tidak adanya kesadaran untuk menjadi bagian dalam kerumunan (crowd), dan tidak berlangsung dalam jangka waktu lama (dalam Matulessy, 2008).
Klandermans (2005) mengungkapkan bahwa gerakan sosial bukan fenomena tunggal yang hanya dapat dijelaskan melalui analisis sosial atau politik semata, namun untuk memahami dan menjelaskan partisipasi individu dalam gerakan sosial digunakan tingkat analisis individual. Tingkat analisis individual dapat menjelaskan antara lain; a) penyebab sebagian orang berpartisipasi dalam gerakan sosial, mengapa yang lainnya tidak turut berpartisipasi; b) penyebab seseorang berpartisipasi dalam salah satu bentuk aksi dan bukan pada bentuk aksi lainnya; c) penyebab seseorang mau mengambil sikap terhadap sebuah fenomena dan yang lainnya tidak; dan d) penyebab sebagian partisipan meninggalkan gerakan sementara yang lainnya masih tetap bertahan. Dalam upaya memahami dan menjelaskan fenomena Gerakan Sosial, para ahli telah mengembangkan khasanah pengetahuan dan wacana yang sangat kaya dan terus berkembang hingga kini. Pada tataran teoritis, hal ini telah melahirkan berbagai teori tentang gerakan sosial. Diantaranya adalah teori tindakan kolektif (collective action/behavior), teori ‘nilai tambah’ (value added), teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization), teori proses politik (political process), dan teori gerakan sosial baru (new social movement) (dalam Suharko, 2007).
Banyaknya teori tentang gerakan sosial membuat peneliti menyebutkan faktor-faktor yang berkaitan dan relevan dengan variabel yang hendak diteliti. Faktor-faktor tersebut antara lain; pertama, kepercayaan politik (political trust). Hasil penelitian Orum (dalam Matulessy, 2007) menjelaskan variabel political trust berpengaruh terhadap munculnya partisipasi dalam gerakan sosial. Political trust diartikan sebagai kepercayaan terhadap komponen-komponen sistem politik yang berlaku saat ini (dalam Touraine, 1998). Menurut Mangum (dalam Ramadhani, 2008), political trust merupakan faktor yang mempengaruhi keterlibatan psikologis seseorang dalam politik.
Political trust dalam sebuah masyarakat mencerminkan kualitas nilai budaya politik tertentu, budaya politik yang demokratis memberikan kecenderungan pula pada partisipasi dipanggung politik (dalam Budiardjo, 1985). Political trust merupakan harapan masyarakat (public expectation) terhadap seorang pemimpin untuk merespon, mengagregasikan serta mengartikulasikan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Namun jika pada kenyataannya, harapan dan kepercayaan publik tersebut bertolak belakang dengan realitas, apabila ketidakpuasaan dan kemarahan rakyat semakin memuncak maka gerakan massa dan aksi solidaritas akan bermunculan dari berbagai elemen masyarakat (dalam Samaloisa, 2009). Kepercayaan yang dimaksud adalah penilaian seseorang terhadap pemerintah atau sistem politik (political trust) apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Political trust yang mati oleh sistem politik akan memupuk radikalisme dan emosionalitas massa.
Berkaitan dengan political trust pada mahasiswa, telah ditunjukkan oleh data sebelumnya yang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa muncul dikarenakan merosotnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik. Seperti yang diutarakan oleh Simanjuntak (2009), bahwa gerakan sosial yang dipelopori oleh mahasiswa muncul karena ketidakpercayaan mahasiswa terhadap sistem politik dan pemerintahan. Kemerosotan kepercayaan politik pada mahasiswa disebabkan anggapan bahwa lembaga politik tidak mampu mengatasi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat. Partisipasi dalam gerakan mahasiswa merupakan pilihan alternatif untuk memberikan tekanan terhadap lembaga pemerintahan untuk segera menyelesaikan persoalan rakyat.
Kedua, efikasi politik (political efficacy). Selain political trust, penelitian Orum (dalam Matulessy, 2008) juga menjelaskan variabel political efficacy berpengaruh terhadap munculnya partisipasi dalam gerakan sosial. Model teori yang dibuat Catellani (dalam Semin & Fiedler, 1996) juga menemukan bahwa aktivitas politik seseorang salah satunya dipengaruhi oleh rasa berperan dalam bidang politik (political efficacy). Muluk dan Reksodiputro (2005) juga menemukan bahwa partisipasi mahasiswa dalam politik dipengaruhi oleh orientasi politik yang dimilikinya. Orientasi tersebut terdiri dari toleransi politik, komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan efikasi politik (political efficacy).
Political efficacy dalam pandangan tradisional, diartikan sebagai persepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya dan kemampuannya untuk mempengaruhi politik pada situasi tertentu (dalam Ramadhani, 2008). Rosenbaum (dalam Setiawan, 2009) menyebutkan budaya politik tidak hanya merujuk pada orientasi kolektif masyarakat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politik, yang disebut pendekatan sistem (systemic approach). Namun demikian budaya politik terkonsentrasi juga pada individu (individual approach), maka budaya politik merupakan fokus kajian psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang individu melihat sistem politik. Apa yang individu rasakan dan pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula individu tersebut meresponnya. Lebih lanjut Rosenbaum (dalam Setiawan, 2009) mendefinisikan political efficacy sebagai perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses politik.
Berkaitan dengan political efficacy pada mahasiswa, data sebelumnya menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan individu yang menganggap dirinya memiliki peran dalam kehidupan sosial politik rakyat indonesia. Muasik (2005) menemukan faktor yang menyebabkan perilaku mahasiswa dalam merespons fenomena sosial politik yang ada, karena kondisi objektif masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan dan krisis sosial. Dalam kesejarahannya, gerakan sosial yang dipelopori oleh mahasiswa telah menunjukkan dirinya mampu berperan sebagai agent of change. Selain itu political efficacy mahasiswa disebabkan eksistensi mahasiswa sesuai dengan predikat yang disandangnya, setidaknya dilihat dari dua dimensi utama sebagai berikut; pertama; sebagai bagian dari lapisan angkatan muda, terutama karena tingkat pendidikan tinggi yang mereka miliki, mereka merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki nasib negara dan bangsanya. Sebagai pelaku perubahan sosial, mahasiswa ingin melibatkan diri untuk menyelesaikan dan mencari jalan keluar terhadap permasalahan-permasalahan yang praktis yang dialami oleh masyarakat. Kedua, sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka sedang jalani, mahasiswa merupakan kelompok intelektual yang merasa keberadaannya dituntut untuk memusatkan diri guna memikirkan ide dan masalah non-material dengan menggunakan kemampuan penalaran ilmiahnya.
Ketiga, Collective Self Esteem. Secara teoritis, gerakan sosial merupakan salah satu bentuk dari perilaku kolektif (collective behaviour), selain mass suicides, mob violence, riots, crazes & panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, shighting & miracles (Locher dalam Matulessy, 2008). Tesis dari Ismail (dalam Matulessy, 2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial. Begitu pula hasil penelitian Orum (Matulessy, 1997) juga menunjukkan Collective Self Esteem merupakan salah satu dari tujuh variabel yang berkaitan dengan munculnya partisipasi dalam gerakan sosial.
Garcia (2008) mengemukakan bahwa Collective Self Esteem merupakan gambaran perasaan berharga ketika individu tersebut berada didalam kelompok dan menjadi anggota kelompok. Collective Self Esteem membuat individu mampu menjaga identitas kelompoknya dari segala ancaman. Berbeda dengan personal self esteem, Crocker & Luhtanen (dalam Faturochman, 1999), melihat gerakan sosial dengan menggunakan konsep collective self esteem. Untuk memahami individu yang berada dalam kelompok digunakan konsep collective self esteem bukan personal self esteem.
Collective self esteem mempengaruhi bagaimana seseorang akan menanggapi ketika peran kelompok mereka dipertanyakan. Crocker dan Luhtanen (dalam Garcia & Sanchez, 2009) menemukan bahwa perasaan berharga seseorang dipengaruhi bagaimana individu tersebut memperoleh baik kesuksesan maupun kegagalan dalam kelompok mereka. Menurut Madonna (2010), orang-orang yang memiliki collective self esteem yang tinggi akan melindungi diri dan kelompok sosial mereka dari segala ancaman yang datang dari luar kelompok. Sebaliknya individu dengan collective self esteem yang rendah cenderung mengabaikan nilai-nilai dan menonjolkan sifat-sifat negatif yang bertentangan dengan kelompok sosial mereka.
Mahasiswa merupakan individu yang memiliki kesadaran organisasi gerakan yang tinggi, dimana rela mengorbankan segala yang dimilikinya untuk cita-cita dan tujuan organisasi. Hal tersebut disebabkan mahasiwa memiliki perasaan berharga dalam berorganisasi. Solidaritas antar mahasiswa juga seringkali terbangun ketika gerakan mahasiswa atau demonstrasi yang dilakukan mahasiswa direspon represif oleh aparat. Sesuai dengan pendapat Hoffer (1988) yang mengidentifikasi gerakan sosial merupakan gerakan yang dicirikan oleh; terbangkitnya kerelaan para anggotanya untuk berkorban sampai mati; kecenderungan beraksi secara kompak; dimilikinya fanatisme; antusiasme; harapan berapi-api; kebencian; intoleransi; kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal.
Berdasarkan paparan tersebut penulis tertarik untuk meneliti keterkaitan ketiga variabel psikologis, political trust, political efficacy dan collective self esteem dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Ketertarikan peneliti melakukan penelitian ini didasari oleh pertama, adanya citra negatif dari masyarakat terhadap gerakan mahasiswa. Citra negatif ini muncul karena demonstrasi mahasiswa yang seringkali berakhir bentrok dan menganggu ketertiban umum. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan mahasiswa selalu hadir dalam setiap pergolakan sosial dan politik bangsa. Masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap mahasiswa sebagai agen of change dan menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Partisipasi mahasiswa dalam wujud gerakan mahasiswa (demonstrasi) telah menghasilkan kehidupan demokrasi yang sehat sekaligus berperan sebagai moral force dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Namun demikian wujud partisipasi mahasiswa dalam menyuarakan kebenaran dan kepentingan masyarakat di satu sisi juga menuai kritik dan cibiran dari masyarakat sendiri. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara harapan masyarakat dengan realitas partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
Kedua, variabel political trust dan political efficacy dalam beberapa penelitian ditemukan keterkaitan yang signifikan dalam partisipasi dalam gerakan sosial, penelitian tersebut antara lain penelitian Orum (dalam Mattulesy, 2008), penelitian Catellani (dalam Setiawan, 2009), dan penelitian Muluk dan Reksodiputro (2005). Orum (Matulessy, 1997) juga menemukan keterkaitan variabel collective self esteem dengan partisipasi dalam gerakan sosial. Hasil penelitian Matulessy (1997) menemukan hasil yang berbeda dengan ketiga penelitian di atas, yaitu tidak ada korelasi secara langsung antara kepercayaan terhadap sistem politik (political trust) dan kemampuan berperan dalam sistem politik (political efficacy) dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Perbedaan hasil penelitian tersebut membuat peneliti tertarik untuk menguji ulang variabel-variabel tersebut karena asumsi bahwa partisipasi dalam gerakan sosial dilatarbelakangi oleh situasi sosial dan dinamika masyarakat yang mengitarinya. Lebih lanjut, Denny J.A. (1990) mengungkapkan kekuatan politik gerakan mahasiswa harus dipahami terlebih dahulu bagaimana konteks dan realitas dimana gerakan mahasiswa itu berada.
Ketiga, penelitian yang sebelumnya dilakukan memiliki rentang waktu yang berbeda dengan penelitian yang hendak penulis lakukan. Seperti yang diketahui bahwa Orum meneliti partisipasi gerakan sosial pada rentang waktu tahun 1974 sampai dengan akhir 1980an, penelitian Matulessy yang pertama tahun 1990an dan penelitian kedua 2005-2006. Sedangkan penelitian ini berlatar belakang partisipasi dalam gerakan mahasiswa pada akhir 2009 dan awal 2010, dimana penulis mengamati terdapat eskalasi yang cukup meningkat di rentang waktu tersebut. Yakni pada Desember 2009 memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, 28 Januari 2010 memperingati 100 Hari pemerintahan SBY-Boediono, dan 2 sampai dengan 3 Maret 2010 mengawal Sidang Paripurna DPR mengawal penyelesaian Kasus Bank Century. Perbedaan waktu peneliti anggap penting didasarkan pendapat Denny JA (1990) yang menggambarkan perbedaan antara gerakan mahasiswa jaman dahulu dengan sekarang. Perbedaan tersebut terlihat pada beberapa aspek, yaitu orientasi gerakan, tipe gerakan, kultur politik dan model pengorganisasian.
Berdasarkan fakta-fakta, hasil penelitian dan gambaran teoritis tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk lebih jauh mengetahui bagaimana hubungan antara Political Efficacy, Political Trust dan Collective Self Esteem dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
Metode Penelitian
Subjek Penelitian
Ciri subjek penelitian antara lain; 1) Memiliki status sebagai aktivis mahasiswa aktif baik di Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta, atau Akademi dan Sekolah Tinggi; 2) Terdaftar sebagai anggota dari sebuah organisasi gerakan mahasiswa; 3) Subjek berusia antara 19 s/d 26 tahun, dimana merupakan usia produktif individu menjadi seorang aktivis atau anggota dari gerakan mahasiswa. Jumlah Responden dalam penelitian ini adalah sejumlah 40 subyek.
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini meliputi:
1) Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Partisipasi dalam gerakan mahasiswa adalah keikutsertaan mahasiswa dalam sebuah organisasi gerakan mahasiswa yang ditandai dengan aktivitas dalam bidang politik. Sedangkan untuk mengukur partisipasi atau aktivitas mahasiswa dalam bidang politik dibutuhkan seperangkat indikator. Indikator partisipasi dalam gerakan mahasiswa dalam penelitian ini berdasarkan skala partisipasi yang dibuat oleh Aie-Rie Lee (1997), Muller dan Grofman (1972) serta Matulessy (2008). Berdasarkan tiga skala tersebut maka dibuat skala partisipasi dalam gerakan mahasiswa yang meliputi ; 1) Berpartisipasi dalam demonstrasi. Bentuk partisipasi ini mencakup keikutsertaan dalam pertemuan menyusun aksi massa, ikut serta dalam demonstrasi di kampus sendiri maupun kampus lain, melakukan kampanye politik berupa tulisan, pamflet, leaflet dan propaganda, mengikuti demonstrasi baik aksi damai maupun aksi bentrok; 2) Mengikuti diskusi yang diselenggarakan organisasi gerakan mahasiswa. Partisipasi ini mencakup antara lain; ikut berdiskusi dalam jangka waktu yang lama (hingga malam hari), mengikuti kelompok diskusi mengenai tema-tema perlawanan dan revolusioner; 3) Mengikuti aksi solidaritas terhadap elemen gerakan sosial lainnya. Partisipasi ini mencakup antara lain ikut serta dalam demonstrasi buruh, petani, LSM dan kelompok progresif lainnya; dan 4) Melakukan konsolidasi antar sesama elemen gerakan sosial lainnya. Maksud dari konsolidasi yaitu melakukan komunikasi dan membangun jaringan baik sesama gerakan mahasiswa maupun elemen gerakan sosial yang lain, seperti buruh, petani, LSM dan kelompok progresif lainnya. Selain itu konsolidasi juga berarti menyamakan pandangan dan mendiskusikan tema-tema, baik tentang situasi lokal (sitlok) maupun situasi nasional (sitnas) berkaitan dengan strategi dan taktik gerakan.
2) Political Trust
Kepercayaan politik (political trust) adalah kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Yang dimaksud sistem politik adalah lembaga-lembaga politik yang ada dalam sebuah negara. Lembaga-lembaga tersebut didasarkan konsep lembaga politik Mochtar Mas’oed (1986), yaitu antara lain; a) Lembaga politik berdasarkan konsep trias politica yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif; b) Partai Politik; c) Organisasi Kemasyarakatan; dan d) Birokrasi Pemerintahan. Indikator-indikator kepercayaan politik (political trust) dalam penelitian ini juga didasarkan skala kepercayaan politik yang disusun oleh Andi Matulessy (2008). Berdasarkan dua pendapat diatas maka untuk mengukur kepercayaan politik (political trust) dalam penelitian ini digunakan indikator sebagai berikut; 1) Kepercayaan terhadap lembaga eksekutif; 2) Kepercayaan terhadap lembaga legislatif; 3) Kepercayaan terhadap lembaga yudikatif; 4) Kepercayaan terhadap Partai Politik; 5) Kepercayaan terhadap Organisasi Kemasyarakatan (ormas); dan 6) Kepercayaan pada Birokrasi Pemerintahan.
3) Political Efficacy
Efikasi politik (political efficacy) merupakan perasaan berperan individu dalam bidang politik. Lebih lanjut efikasi politik (political efficacy) adalah perasaan bahwa tindakan politik atau partisipasi politik individu dapat memiliki pengaruh terhadap proses politik yang ada. Untuk mengukur Efikasi politik (political efficacy) dalam penelitian ini menggunakan komponen efikasi politik internal menurut Michael E Morrell (2003) yaitu meliputi kualifikasi atau kemampuan diri seseorang untuk berpartisipasi dalam politik (selfqual), memahami isu-isu aktual perpolitikan (understand), perasaan bisa bekerja dengan baik di instansi publik seperti orang lain (puboff), kemampuan memberikan informasi tentang politik (informed).
4) Collective Self Esteem
Harga diri kolektif (collective self esteem) merupakan perasaan berharga individu dalam sebuah kelompok. Untuk mengukur variabel harga diri kolektif (collective self esteem) didasarkan skala CSE yang dibuat oleh Luhtanen dan Crocker (1992). Maka indikator dalam untuk mengukur harga diri kolektif (collective self esteem) dalam peneltian ini adalah sebagai berikut; 1) harga diri anggota (membership self-esteem). Indikator ini mengacu pada penilaian seseorang tentang perbuatan baik atau layak dirinya sebagai anggota kelompok; 2) harga diri pribadi (private collective self-esteem). Indikator ini berkaitan dengan bagaimana individu menilai kelompoknya; 3) harga diri publik (public collective self-esteem). Indikator ini mengacu pada bagaimana non- anggota (individu diluar kelompok) mengevaluasi atau menilai kelompoknya; dan 4) pentingnya identitas kelompok (importance to Identity). Indikator ini terkait dengan betapa pentingnya keanggotaan dalam sebuah kelompok sebagai identitas seseorang.
Hasil analisis indeks diskriminasi butir terhadap skala partisipasi dalam gerakan mahasiswa adalah dari 35 aitem yang disusun, seluruh aitem bisa digunakan dengan koefisien korelasi (rbt) bergerak dari 0.930 - 0.713 ; skala political trust dari 36 aitem yang disusun, seluruh aitem digunakan, dengan koefisien korelasi (rbt) bergerak dari 0.977 - 0.778 ; skala political efficacy dari 24 aitem yang disusun, seluruh aitem dapat digunakan, dengan koefisien korelasi (rbt) bergerak dari 0.963 - 0.784 ; skala collective self esteem dari 16 aitem yang disusun, seluruh aitem dinyatakan sahih, dengan koefisien korelasi (rbt) bergerak dari 0.930 - 0.713. Sementara itu hasil uji analisis keandalan (reliabilitas) masing-masing skala dalam penelitian ini didapatkan hasil : reliabilitas skala partisipasi gerakan dalam mahasiswa menunjukkan rtt = 0.922 pada taraf signifikansi (p) = 0.000; reliabilitas skala political trust menunjukkan rtt = 0.993 pada taraf signifikansi (p) = 0.000; reliabilitas skala political efficacy menunjukkan rtt = 0.991 pada taraf signifikansi (p) = 0.000; reliabilitas skala collective self esteem menunjukkan rtt = 0.983 pada taraf signifikansi (p) = 0.000.
Hasil Penelitian
Hasil uji perhitungan Analisis Regresi Umum antara variabel bebas Political Trust (X1), Political Efficacy (X2) dan Collective Self Esteem (X3) secara bersama-sama terhadap variabel terikat Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa (Y) diperoleh hasil F = 930,399 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa antara Political Trust, Political Efficacy dan Collective Self Esteem secara bersama-sama mempunyai pengaruh sangat signifikan terhadap Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
Selanjutnya koefisien korelasi parsial antara political trust (X1) dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa menunjukkan rxy-sisa x sebesar -0,135 dengan taraf signifikansi (p) = 0,00, yang berarti political trust dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa mempunyai hubungan negatif dan sangat signifikan. Korelasi parsial antara political efficacy (X2) dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa menunjukkan rxy-sisa x sebesar 0,444 dengan taraf signifikansi (p) = 0,00, yang berarti political efficacy dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa mempunyai hubungan positif dan sangat signifikan. Sementara itu korelasi parsial antara collective self esteem (X3) dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa menunjukkan rxy-sisa x sebesar 0,679 dengan taraf signifikansi (p) = 0,00 yang berarti collective self esteem dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa mempunyai hubungan positif dan sangat signifikan.
Sumbangan efektif variabel bebas terhadap variabel terikat partisipasi dalam gerakan mahasiswa, masing-masing adalah political trust memiliki sumbangan efektif sebesar 4,065 %, political efficacy memiliki sumbangan efektif sebesar 34,458 %, antara collective self esteem memiliki sumbangan efektif sebesar 60,203 % . Artinya terdapat 1,273 % variabel lain yang memiliki pengaruh terhadap partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Political Trust, Political Efficacy dan Collective Self Esteem baik secara bersama- sama maupun secara parsial mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Orum (dalam Matulessy, 2003) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penting penyebab partisipasi individu dalam gerakan sosial, diantara faktor-faktor yang peneliti gunakan untuk menjelaskan fenomena partisipasi dalam gerakan mahasiswa adalah Political Trust, Political Efficacy dan Self Esteem.
Selanjutnya penelitian ini menunjukkan hubungan negatif dan sangat signifikan antara Political Trust dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa. hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Paige (dalam Gaffar, 1980) mengemukakan salah satu faktor pendorong bagi menguatnya partisipasi individu dalam bidang politik adalah kepercayaan politik (political trust). Lembaga politik yang mampu menjalankan perannya dengan baik, kepercayaan mahasiswa pada lembaga politik akan menguat. Data dan fakta menunjukkan bahwa tingkat partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi cenderung tinggi ketika lembaga-lembaga politik yang ada, khususnya pemerintah, dianggap tidak mampu menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Sehingga memunculkan kemerosotan political trust pada masyarakat, khususnya mahasiswa. Mahasiswa merupakan anak muda yang memiliki idealisme dan harapan yang tinggi terhadap perubahan sosial politik yang lebih baik bagi masyarakat. Political trust yang rendah terhadap lembaga- lembaga politik yang ada diwujudkan melalui berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa, dimana gerakan mahasiswa merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi respon atau reaksi atas kondisi tertentu (realitas sosial) di masyarakat. Hal ini menjelaskan bahwa adanya hubungan yang negatif antara political trust dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa dalam penelitian ini, yaitu menunjukkan bahwa semakin rendah political trust maka semakin tinggi partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi political trust maka semakin rendah partisipasi dalam gerakan mahasiswa.Paige (dalam Gaffar, 1980) mengemukakan salah satu faktor pendorong bagi menguatnya partisipasi politik adalah kepercayaan politik (political trust). Politik adalah aktivitas sosial yang akan berjalan baik dalam situasi adanya kerja sama dan saling percaya. Perubahan politik dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya. Jika lembaga-lembaga politik menunjukkan sinyal bisa dipercaya, maka partisipasi dan kepercayaan rakyat pada politik akan menguat.
Mahasiswa merupakan anak muda yang memiliki idealisme dan harapan yang tinggi terhadap perubahan sosial politik yang lebih baik bagi masyarakat. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan tersebut dapat memunculkan kepercayaan politik (political trust) yang rendah terhadap sistem politik yang ada. Dimana ketidakpercayaan tersebut diwujudkan melalui berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa, karena mereka merasakan ketidakpuasan akan kinerja pemerintah yang dianggap tidak optimal. Gerakan mahasiswa selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk memberi respon atau reaksi atas kondisi tertentu (realitas sosial) di masyarakat (dalam Mahardhika, 2000).
Seperti yang dikemukakan oleh Guterbock & London (dalam Matulessy, 2008) bahwa individu berpartisipasi lebih aktif dalam protes politik apabila menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap negara. Hal yang sama dikemukakan oleh Jasper (2003) yang mengatakan bahwa kepercayaan pada sistem politik akan mempengaruhi perilaku politik, terutama mengurangi keinginan untuk protes. Kepercayaan pada sistem politik akan mengarah pada dukungan politik berupa kepuasan pada kebijakan pemerintahan maupun sikap positif masyarakat pada sistem politik yang ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa rendahnya kepercayaan politik (political trust) akan menyebabkan meningkatnya partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara antara political efficacy dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Artinya semakin tinggi political efficacy maka semakin tinggi pula partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah political efficacy maka semakin rendah pula partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dan pendapat yang mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara efikasi politik (political efficacy) dengan partisipasi dalam gerakan sosial. Individu yang mempunyai perasaan mampu berperan atau mempengaruhi sistem politik yang ada (political efficacy), akan mengarahkan keinginan individu tersebut untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial (Mangum (2003); Kelly (dalam Haslam, 2001); Michelson (2000); Morrell (2003); Orum (dalam Matulessy, 2003); Pinkleton dkk (dalam Matulessy, 2008)). Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, dimana telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Data dan fakta menunjukkan bahwa partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi selalu muncul ketika terjadi persoalan- persoalan yang merugikan rakyat. Gerakan mahasiswa selalu muncul dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap nasib rakyat. Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa merupakan individu yang merasa dirinya mampu berperan dan mempengaruhi sistem politik yang ada. Secara konkrit, perasaan berperan tersebut diwujudkan melalui partisipasi dalam demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa tingginya partisipasi dalam gerakan mahasiswa salah satunya disebabkan oleh tingginya political efficacy pada mahasiswa. Berbagai penelitian yang membuktikan terdapat keterkaitan antara efikasi politik (political efficacy) dengan partisipasi dalam gerakan sosial ditunjukkan antara lain; penelitian dari Kelly (dalam Haslam, 2001) yang menemukan hubungan partisipasi protes pekerja dalam suatu organisasi gerakan sosial dengan variabel efikasi politik (political efficacy); penelitian dari Pinkleton dkk (dalam Matulessy, 2008) yang menemukan korelasi positif antara efikasi politik (political efficacy) dengan partisipasi politik, terutama perilaku memilih; penelitian dari Michelson (2000) yang menemukan tingkatan efikasi politik berkaitan dengan partisipasi politik, terutama keikutsertaan dalam Pemilu.
Lebih lanjut Orum (dalam Matulessy, 2003) mengemukakan bahwa individu yang mempunyai perasaan mampu untuk mempengaruhi sistem politik yang ada (political efficacy), akan mengarahkan keinginan individu tersebut untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial. Sedangkan dalam konteks pemilu, Muhtadi (2009) menemukan bahwa kenaikan jumlah golput dipicu meluasnya perasaan alienasi politik bahwa pemilu tidak terkait dengan kepentingan pragmatis pemilih. Efikasi politik yang rendah terhadap proses- proses politik, termasuk masalah pemilu, membuat individu merasa bahwa pilihan suara mereka tidak bakal mengubah keadaan. Dua hal tersebut menunjukkan hubungan yang erat antara efikasi politik terhadap partisipasi politik individu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan psikologis seseorang dalam politik. Menurut Mangum (2003), keterlibatan psikologis memiliki tiga komponen yaitu; political engagement, efikasi politik, dan political trust. Sama halnya dengan hasil penelitian Morrell (2003), yang menemukan bahwa efikasi politik, khususnya efikasi politik internal, berkorelasi sangat kuat dengan psychological involvement (keikutsertaan psikologis).
Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, dimana telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda (dalam Sanit, 1982). Idealisme dan sejarah mahasiswa selalu tampil dalam setiap pergolakan politik. Hal tersebut menyebabkan mahasiswa memiliki perasaan berperan terhadap proses politik yang ada (political efficacy). Secara konkrit diwujudkan melalui partisipasi dalam gerakan mahasiswa sebagai manifestasi perasaan berperan tersebut.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan sangat signifikan antara collective self esteem dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Semakin tinggi collective self esteem maka tinggi pula partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah collective self esteem maka semakin rendah pula partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Collective self esteem merupakan salah satu aspek diri individu yang berasal dari persepsi seseorang tentang keanggotaan dirinya didalam kelompok yang memiliki nilai dan makna emosional. Semakin lama individu terlibat dalam aktivitas kelompok, maka collective self esteem akan semakin terbentuk. Proses terbentuknya gerakan mahasiswa yang memakan waktu relatif lama dan konsisten dalam memperjuangkan idealismenya berkaitan erat dengan tumbuhnya collective self esteem dalam sebuah organisasi gerakan. Keterlibatan mahasiswa dalam sebuah organisasi gerakan yang memiliki jangka waktu relatif lama dan disertai dengan aktivitas-aktivitas penting dalam organisasi tersebut cenderung menaikkan tingkat collective self esteem. Aktivis mahasiswa yang memiliki collective self esteem yang tinggi cenderung akan melindungi dan mempertahankan kelompoknya dari tekanan pihak lain. Collective self esteem juga menimbulkan solidaritas antar aktivis mahasiswa ketika demonstrasi mahasiswa berakhir bentrok dengan aparat. Data menunjukkan bahwa, tingginya partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi seringkali dilatarbelakangi oleh rasa solidaritas dan represitas aparat pada demonstrasi-demonstrasi sebelumnya. Maka dapat disimpulkan bahwa tingginya collective self esteem pada aktivis mahasiswa akan menaikkan tingkat partisipasi mahasiswa dalam kegiatan demonstrasi. Crocker & Luhtanen (Faturochman, 1999) mengungkapkan individu yang berada dalam kelompok menggunakan konsep collective self esteem daripada personal self esteem secara pararel dengan identitas personal dan sosial seperti yang dikemukakan oleh Tajfel dalam teori identitas sosialnya (dalam Matulessy, 2008). Karena terdapat perbedaan mendasar antara harga diri pribadi (personal self esteem) dan harga diri kolektif (collective self esteem) adalah bahwa harga diri kolektif (collective self esteem) mengacu pada nilai yang ditempatkan pada kelompok, dimana individu tersebut menjadi anggota, sedangkan titik acuan untuk harga diri pribadi (personal sel esteem) adalah individu, dimana terpisah dari kelompok (dalam Kim dan Omizo, 2005).
Collective self esteem merupakan salah satu aspek konsep diri individu yang berasal dari persepsi seseorang tentang keanggotaan dalam kelompok sosial yang disertai dengan nilai dan makna emosional. Selanjutnya Huntington (1994) berpandangan bahwa keterlibatan individu dalam sebuah kelompok (organisasi) cenderung menaikkan partisipasi seseorang dalam kegiatan politik. Tesis dari Ismail (dalam Matulessy, 2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial. Begitu pula hasil penelitian Orum juga menunjukkan harga diri kolektif (Collective Self Esteem) merupakan salah satu dari tujuh variabel yang berkaitan dengan munculnya partisipasi dalam gerakan sosial.
Gerakan mahasiswa adalah perilaku kolektif dari sekumpulan mahasiswa dalam waktu yang relatif lama, terorganisir dan mempunyai tujuan untuk mengadakan perubahan struktur sosial yang dianggap tidak memenuhi harapan, serta memunculkan kehidupan baru yang lebih adil dan berpihak pada rakyat kecil. Proses terbentuknya gerakan mahasiswa yang memakan waktu relatif lama dan konsisten dalam memperjuangkan idealismenya berkaitan erat dengan tumbuhnya harga diri kolektif (collective self esteem) dalam sebuah organisasi gerakan. Dimana pada hakekatnya gerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan sosial dipandang sebagai sebagai suatu bentuk organisasi yang memiliki soliditas sosial, politik dan ideologi yang tinggi. Sebuah organisasi mahasiswa dikatakan sebagai gerakan sosial manakala setiap anggotanya digerakkan oleh kesamaan keyakinan, doktrin, fanatisme dan kepemimpinan, serta melibatkan diri secara sadar untuk berkorban atas nama perubahan (dalam Fatah, 1993).
Simpulan
Political Trust, Political Efficacy dan Collective Self Esteem secara bersama- sama mempunyai pengaruh sangat signifikan terhadap Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Saran
Sistem politik seharusnya dapat menciptakan Political Trust, Political Efficacy dan Collective Self Esteem dalam rangka menciptakan situasi politik yang kondusif.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1972. Tentang Pemuda dan Pembangunan. Jakarta. Leknas.
Astrika, Lusia. 2003. Psikologi Politik Tentang Ekstrimisme Politik. Makalah. Fisip Universitas Diponegoro.
Arismunandar, Satrio. 2008. Gerakan Mahasiswa Selayaknya Bisa Jadi Gerakan Sosial. 9 Feb 2008. www.netsains.com. Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Almond, Gabriel. 1990. Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik. Dalam Mochtar Mas’oed dan Collin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Anwar, Yozar. 1981. Pergolakan Mahasiswa Abad Ke-20. Jakarta. Sinar Harapan.
Badri, Syaiful. 2008. Jangan Anarkis. www.harianbatampos.com. 12 Mei 2008. Diakses tanggal 02 Mei 2010.
Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Bunga Rampai. Jakarta. Gramedia.
Catterberg, Gabriela & Moreno, Alejandro. 2005. The Individual Bases of Political Trust: Trends in New and Established Democracies. International Journal of Public Opinion Research. Volume 18 www.ijpor.oxfordjournals.org , Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Coopersmith, Stanley. 1967. The Antecedent of Self Esteem. W.H. Freeman & Co. San Francisco.
Engelen, dkk,. 1997. Lahirnya Satu Bangsa dan Negara. Jakarta. UI Press.
Garcia, Julie, & Sanchez, Diana. 2008. Collective Self-Esteem. The Encyclopedia of Positive Psychology. www.sanchezlab.com. Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Harianja, Wallim. 2008. Gerakan Mahasiswa Dalam 10 Tahun Reformasi. Makalah. Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang.
Hastiyanto, Febrie. 2010. Menakar Radikalitas Gerakan Mahasiswa. www.waspadamedan.com. 01 April 2010. Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Hatta, Muhammad. 1974. Berpartisipasi dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Alih Bahasa, Sri-Edi Swasono. Jakarta. Yayasan Idayu.
Hoofer, Eric. 1988. Gerakan Massa. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Huntington, Samuel & Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta.
Kartodirdjo, Sartono. 1996. Ideologi Bangsa dan Pendidikan Sejarah. Jakarta. Sinar Harapan.
Kerlinger, Fred N., 1992. Foundating Behavioral Research.. Alih Bahasa, Landung R. Simatupang. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Madonna, Constantine. 2010. Collective Self-Esteem in Black College. Journal of Black Studies. Sage Publications. www.jbs.sagepub.com. Diakses tanggal 05 Mei 2010.
Magenda, Burhan. 1977. Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Sistem Politik. Dalam Prisma Edisi 12 Desember 1977. Jakarta. LP3ES.
Mann, Richard. 1999. Memperjuangkan Demokrasi di Indonesia. Jakarta. Handal Niaga Pustaka.
Matulessy, Andik. 1997. Gerakan Mahasiswa. Malang.
Matulessy, Andik. 2008. Model Kausal Partisipasi Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Muasik, Kamal. 2004. Budaya Politik Kampus: Studi terhadap Aktivis Mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Muluk, Hamdi, & Reksodiputro, Adrianto. 2005. Prediktor Pembeda Aktivis Mahasiswa Berdasarkan Orientasi Politik dan Partisipasi Politik. Jurnal Psikologi Sosial. Vol.11, No.02, Januari 2005.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Onghokham. 1977. Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik. Dalam Prisma Edisi 12 Desember 1977. Jakarta. LP3ES.
Pabotinggi, Mochtar. 1977. Strategi Kultur dan Generasi Muda. Dalam Prisma Edisi 12 Desember 1977. Jakarta. LP3ES.
Poeze, Harry. 1988. Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik. Jakarta. Grafitipers.
Rahman, Fadjroel. 2003. Analisis singkat sejarah gerakan mahasiswa Indonesia 1966-2001. www.sosialista.org. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
Ramadhani, Verdi. 2008. Keapatisan Politik dalam Sudut Pandang Psikologi. http://aryaverdiramadhani.blogspot.com/ . Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Samaloisa, Rijel. 2009. Krisis Kepercayaan Publik Terhadap DPR. www.puailiggoubat.com, 14 November 2009. Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Sanit, Arbi. 1992. Aneka Pandangan Fenomena Golput. Jakarta. Sinar Harapan.
Sarwono, Sarlito W. 1978. Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa. Jakarta. Penerbit Bulan Bintang.
Setiawan, Asep. 2009. Budaya Politik: Sebuah Eksplorasi Konsep. http://theglobalpolitics.com/?p=62 . Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Siahaan, Hotman. 2005. Kreativitas dan Partisipasi Politik. Kompas, 22 Mei 2005.
Singarimbun. M., dan Soffian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survei. Yogyakarta. LP3ES.
Siregar, Hariman. 2003. Gerakan Mahasiswa : Pilar ke-5 Demokrasi. Jakarta. Teplok Press.
Steers, R.M. & Porter, L.W., 1990. Motivation And Work Behavior. New York. Mc Graw Hill Company.
Suharko, 2007. Buku Seri Demokrasi 2: Gerakan Sosial. Malang. Averroes Press.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Widiasarana. Jakarta.
Suryabrata, Sumadi, 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Tarrow, Sidney. 1998. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge. Cambridge University Press.
Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia. Jakarta. Hasta Mitra & Pustaka Utan Kayu.
Hartono, Rudy. 2007. Memajukan Gerakan Mahasiswa-Rakyat dengan Taktik Mengintervensi Pemilu 2009. www.indo-marxist.org. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
Walgito, Bimo, 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Walgito, Bimo, 2006. Psikologi Kelompok. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Farley, John. 1992. Sociology. New Jersey. Prentice Hall.
Huneryager, S. G & I.L Heckman. 1992. Partisipasi dan Dinamika Kelompok. Semarang. Dahara Prize.
Yunan. 2003. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa: Study Kasus Program Bantuan Pelaksanaan Pembangunan Partisipasi di Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo. Thesis. www.ppsub.ub.ac.id. Diakses tanggal 10 Mei 2010.
Yuliantara, Dadang. 2000. Arus bawah demokrasi: Otonomi dan pemberdayaan desa. Yogyakarta. LAPERA.
Young, K,. 1958. Social Psycology. NewYork. Appleton, Century Crofts Inc.
Wexley, K. & Yulk, G.A. 1977. Organizational Behavior and Personnel Psychology. Illinois. Richard. D. Irwin Inc. Homewood.
Denny J.A. 1990. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 1980-an. Jakarta. Miswar.
Luhtanen, R. & Crocker, J. 1992. A Collective Self-Esteem Scale: Self-Evaluation of One`s Social Identity. Personality and Social Psychology Bulletin. Vol. 18. www.columbia.edu . Diakses tanggal 04 Mei 2010.
Widjojo, Muridan S. 1999. Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa '98. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Michener, H.A., & DeLamater, J.D. 1999. Social Psychology. Orlando. FL Harcourt Brace College Publishers.
Locher, David A. 2002. Collective Behavior. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey.
Gerungan, W.A. 2009. Psikologi Sosial. Bandung. Refika Aditama.
Simanjuntak, Bungaran, A. 2010. Gerakan Sosial Adalah Cermin Ketidakpercayaan Pada Lembaga Resmi. www.antaranews.com , 22 Desember 2009. Diakses tanggal 03 Mei 2010.
Raillon, F. 1989. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. LP3S. Jakarta.
………………………….. 2010. 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono di Jatim. www.antarajatim.com, 28 Januari 2010. Diakses tanggal 02 Mei 2010.
………………………….. 2010. Sinergisitas yang diperlukan: Catatan 100 Hari Program Kerja SBY. www.hminews.com, 27 Januari 2010. Diakses tanggal 02 Mei 2010.
…………………………..2009. 100 Hari SBY, Menteri Perlu Dievaluasi. www.poskota.co.id, 26 Januari 2010. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
…………………………..2009. Demo Hari Antikorupsi Meriah. www.bataviase.co.id, 09 Desember 2009. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
…………………………..2009. Jakarta Digoyang Unjuk Rasa di Hari Antikorupsi Sedunia. www.detiknews.com, 09 Desember 2009. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
…………………………..2009. Mahasiswa Peringati Hari Antikorupsi. www.tempointeraktif.com. 09 Desember 2009. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
…………………………..2009. Massa Aksi Hari Anti Korupsi Mulai Unjuk Rasa. www.suarasurabaya.net, 09 Desember 2009. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
…………………………..2010. Bentrokan HMI Makassar dan Polisi. www.metrotvnews.com. 4 Maret 2010. Diakses tanggal 06 Mei 2010.
…………………………..2010. GIB Kerahkan 20 Ribu Orang dalam Demo 28 Januari. www.detiknews.com, 29 Januari 2010. Diakses tanggal 02 Mei 2010.
………………………….. 2010. Kasus Century Sulit Tuntas Dalam 100 Hari Pemerintahan SBY. www.antarajatim.com, 28 Januari 2010. Diakses tanggal 02 Mei 2010.
Selamat Datang
Selamat datang di website pribadi saya. Semoga website ini dapat berguna bagi mahasiswa saya khususnya dan bagi seluruh masyarakat pada umumnya. Amin...