Social Recovery Pada Anak Pasca Masa Penahanan (PMP)
Andik Matulessy
Seorang anak yang mengalami penyimpangan perilaku tidak bisa dianggap sama dan mendapat perlakuan sama dengan manusia dewasa. Kondisi fisik dan psikis anak sangatlah berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak cenderung memiliki fisik yang lebih lemah, tergantung pada orang lain, membutuhkan support yang lebih banyak dari lingkungan,mudah sekali mengalami stress,sehingga apabila mereka menghadapi persoalan kriminal, terutama sebagai pelaku,maka membutuhkan pendekatan yang berbeda dari orang dewasa pada umumnya. Persoalan yang banyak terjadi adalah anak yang ”nakal” atau berperilaku kriminal akan mengalami perlakuan yang bisa mengganggu perkembangan psikologisnya dimasa dewasanya nanti, baik dalam proses penyidikan, penahanan, sampai dengan pasca penahanan. Perlakuan yang lebih humanis dan mempertimbangkan kondisi psikologis anak harus tetap dijadikan acuan dalam menghadapi anak-anak yang mengalami problem kriminal. Oleh karena itu perlu dilakukan recovery social atau yang lebih sesuai diterjemahkan sebagai rehabilitasi social, revitalisasi, reintegrasi dan resosialisasi bagi anak-anak yang mengalami kasus kriminalitas.
“According to some criminologist, the stigmazitation resulting from police apprehension, arrest, and detention actually reinforces deviant behavior” Richard A Cloward & Lloyd E. Ohlin
“one of the most important steps in developing independence in kids is to teach them to express themselves clearly, to develop an argument that leads to a logical conclusion, and to be able to defend their opinions yet respect those who hold different ones” Kesler
PENDAHULUAN
Manusia tidak bisa dilepaskan dari stimulasi lingkungan sekitarnya, terutama lingkungan sosial. Manusia yang memiliki dasar human socius akan selalu dihadapkan pada proses interaksi sosial dalam berbagai jenis lingkungan sosial yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Lingkungan sosial yang berbeda akan memunculkan respon yang berbeda pula (pertama kali dibuktikan oleh Norman Triplett), bisa meningkatkan atau menurunkan performance (fasilitasi atau pemalasan social), memunculkan respon baik atau buruk, maupun akan mengarahkan seseorang melanjutkan atau menghentikan interaksi social tsb. Hal tsb berarti lingkungan social akan memberi dampak yang signifikan bagi individu, walaupun tidak bisa dikesampingkan faktor kepribadian / traits juga memberikan peran yang besar.
Lingkungan social bisa diterjemahkan sebagai antar individu, individu dalam kelompoknya, individu dalam kelompok dan interaksinya dengan kelompok lain,maupun produk kultur dari individu tersebut. Kesemuanya akan menjadi variable independent dari kemunculan perilaku seseorang. Atau secara metodologi, lingkungan social (ada mendefinisikan sebagai stimulus social) menjadi penyebab atau determinan dari munculnya perilaku.
Stimulasi sosial berupa individu dapat dijelaskan bahwa keberadaan orang akan sangat mempengaruhi respon seseorang. Apabila kita berdekatan dengan orang yang kita sayangi akan memberikan dampak yang lebih positif dibandingkan dengan orang yang kita benci. Seseorang yang mengidolakan orang yang berperilaku negatif tentunya akan menjadikan orang tersebut sebagai model (imitating behavior).
Stimulasi social berupa individu dalam kelompok artinya seseorang yang berada pada lingkungan utama dan terkecil yakni keluarga yang harmonis tentunya akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang memiliki respon yang positif nantinya bagi lingkungan sekitar. Dalam konteks yang lebih besar, individu yang berada pada komunitas yang “sakit” akan menumbuhkan pula pribadi yang rentan untuk berperilaku kriminal.
Stimulasi social berupa individu dalam kelompok yang berinteraksi dengan kelompok lain, dapat dijelaskan dalam contoh seseorang yang berada dalam kelompok “gang” akan cenderung menganggap kelompoknya lebih hebat dan lebih memberikan “perasaan memiliki”, serta menganggap kelompok lain “lemah” dan selalu dianggap musuh. Hal tersebut karena setiap kelompok memberikan aturan atau norma berdasarkan tata ukuran kelompoknya bukan atas dasar kondisi objektif.
Sementara itu produk individu yang dianggap sebagai stimulus sosial, bisa berupa ruang, uang, ideology, dsb, yang mengarahkan perubahan perilaku tertentu bila dihadapkan pada satu space dan konteks yang sangat berbeda sekali dengan yang dihadapi dalam kesehariannya. Seorang yang dimasukkan sel atau tahanan akan menunjukkan perilaku yang lebih agresif dan menyimpang (penelitian Zimbardo dkk). Apalagi individu tsb berada pada lingkungan yang sama sekali belum pernah dihadapi sebelumnya, sehingga menimbulkan berbagai ketegangan psikis yang tak terhingga. Selain itu ruang yang sempit akan menghalau personal space (batas maya individu) dan privacy (menurut Fisher), sehingga lama kelamaan akan mengarahkan pada ketelanjangan social atau deindividuasi (Sarlito).
Memang pengaruh lingkungan social yang berbeda tidak serta merta memunculkan perilaku yang berbeda pula. Hal tsb tergantung pada kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang hal ini terkait juga dengan kepribadian dan tahap perkembangan seseorang. Misalnya seorang yang introvert tentu lebih sulit untuk beradaptasi pada lingkungan yang sama sekali asing baginya. Selain itu adaptasi anak terhadap lingkungan sosial yang negatif akan menyulitkan dan menimbulkan hentakan emosional yang tinggi dibandingkan dengan orang yang sudah dewasa.
Berdasarkan konsep tsb di atas, maka penetapan anak dalam konteks the criminal justice system di negeri ini belum tentu dapat menimbulkan efek jera pada anak. Bahkan sebaliknya, anak akan semakin terjerumus dalam kepekatan kehidupan pada tahap perkembangan berikutnya. Apakah perilaku kriminal yang dilakukan anak terencana atau tidak, disengaja atau tidak, maka penetapan anak sebagai tahanan akan menumbuhkan pribadi yang rentan untuk memunculkan perilaku negatif yang kualitasnya lebih tinggi. Dan bila saya mengutip konsep dari Berry dkk (an eco cultural model), maka perilaku dan pribadi yang buruk disebabkan oleh konteks ekologis dan sosio-politis-kultur yang buruk, yang nantinya perilaku dan pribadi yang negatif tersebut akan menyebabkan semakin parahnya konteks ekologis dan sosio-politis-kultur. Sebuah mata rantai yang sulit diputus saat system tidak lagi dibenahi.
Gerakan Sosial Untuk Merubah Paradigma Violence Journalism Menuju Peace Journalism
Andik Matulessy
Disampaikan dalam acara ngabuburit Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Merdeka Malang, 29 Oktober 2004
Television has brought murder back into the home---where it belongs (Alfred Hitchcock)
PENDAHULUAN
Ada pepatah mengatakan pena lebih tajam daripada pedang, yang berarti sebuah tulisan bisa menyakitkan dan memberi dampak yang besar dibanding dibunuh dengan sebilah pedang. Pepatah ini tidak muncul begitu saja tanpa sebuah kebenaran, tetapi banyak bukti yang mendukung hal ini. Begitu besarnya pengaruh tulisan di media sehingga bisa memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan masyarakat bahkan dunia Internasional sekalipun. Para jurnalislah yang bisa merubah wajah dunia menjadi menyenangkan ataukah menyedihkan, karena mereka akan mengungkapkan realitas, opini, asumsi, deskripsi sampai dengan penyimpulan akan fenomena yang terjadi di kehidupan social ini. Sebagai contoh ungkapan Koran akan kerusuhan di sebuah tempat akan memicu fanatisme pada salah satu kelompok yang bertikai, uraian berita tentang pemerkosaan akan memicu solidaritas pada korban, headline pemberantasan korupsi bisa memunculkan kegamangan para koruptor, berita sweeping di bulan Ramadhan menimbulkan pro kontra pada sebagian besar pembaca. Belum lagi tayangan media elektronik seperti TV lebih menimbulkan dampak secara psikologis dan social, misalnya tayangan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina menyebarkan kebencian pada sosok tentara Israel, pemberitaan bom di ibukota menimbulkan turunnya nilai rupiah, menyebarkan ketakutan / hysteria masyarakat ibukota, memunculkan polemik kegagalam inteligen, ungkapan kemarahan masyarakat pada pelaku, dsb. Masih banyak contoh dari kemungkinan / dampak yang terjadi dengan tayangan dari hasil kerja para jurnalis.
Di dalam encyclopedia of knowledge Grolier (1995), the broad term journalism can be defined as those mass-communication activities which pertain to the collection and publishing of news-related material for general and specialized segments of society. Berdasarkan definisi tsb nampak sekali bahwa jurnalisme terkait dengan segala aktivitas komunikasi massa yang mengumpulkan dan mempublikasikan materi berita yang diperuntukkan bagi masyarakat umum atau kelompok social tertentu. Selanjutnya ada dua jenis / bentuk media yang terkait dengan jurnalisme yakni media cetak, surat kabar dan broadcast atau media elektronik, seperti radio dan televisi, yang sekarang mencakup pula tayangan dunia maya di internet dalam bentuk berita elektronik.
Media cetak surat kabar diperkenalkan pertama kali oleh Johann Gutenberg tahun 1450 yang dikenal sebagai periode awal perkembangan jurnalisme modern. Perkembangan berikutnya dimunculkan oleh John Dickinson, Thomas Paine dan Samuel Adams yang memunculkan jurnalisme politik. Sementara itu periode yang terkenal dengan New Journalism dimunculkan oleh Joseph Pulitzer yang memunculkan Koran dalam bentuk yang lebih modern dan sirkulasi yang lebih cepat. Pengembangan berikutnya dari media cetak ini muncul dalam bentuk majalah (magazine). Sementara itu radio sebagai media komunikasi muncul tahun 1916 oleh Lee de Forest yang melakukan prediksi bahwa Charles Evans Hughes akan menjadi Presiden AS pada tahun tsb. Televisi mulai eksis sejak tahun 1920 sebagai media jurnalistik yang berperan dalam kehidupan manusia.
Selamat Datang
Selamat datang di website pribadi saya. Semoga website ini dapat berguna bagi mahasiswa saya khususnya dan bagi seluruh masyarakat pada umumnya. Amin...